• Latest News

    Friday, 23 January 2015

    Suku dan Kebudayaan Asli Kota Ketapang Kal-Bar



    Kota Ketapang
    Berbagai macam adat istiadat yang ada di indonesia ini baik dari sabang sampai marauke, begitu halnya dengan kabupaten ketapang yang terletak di propinsi Kalimantan Barat. Kali ini saya akan memperkenalkan mengenai suku dan budaya asli yang ada di Ketapang itu sendiri yaitu suku melayu dan suku dayak. Tanpa berpanjang lebar lagi silahkan di baca.

    Suku dan Kebudayan Melayu Kayong Ketapang

    Suku Melayu Kayong hidup di sekitar wilayah pantai, pulau-pulau kecil, dan pedalaman hutan di Ketapang. Dari kehidupan ini, terlihat kedekatan mereka dengan alam.               

    Orang Melayu Kayung memiliki sejarah asal-usul yang unik. Menurut M. Dardi D. Has (2008) dalam buku Kebudayaan, Adat Istiadat, dan Hukum Adat Melayu Ketapang, mereka adalah keturunan campuran dari Jawa (Prabu Jaya), Palembang (Sang Maniaka), Bugis (Daeng Manambon), Berunai (Raja Tengah), dan Siak (Tengku Akil).  

    Menurut asal-usul di atas, terlihat kebudayaan orang Melayu Kayung menjadi agak berbeda dengan masyarakat Ketapang pada umumnya. Meskipun mayoritas Islam, namun orang Melayu Kayung banyak mengadopsi ritual keyakinan lainnya, misalnya dalam upacara adat sunatan mereka membaca mantra-mantra dan meletakkan sesaji tertentu di sela-sela pembacaan Al quran. Mereka juga masih mempercayai pantangan-pantangan tertentu yang disebut pantang penti dan pamali.
    Realitas ini menarik untuk dikaji lebih lanjut karena orang Melayu Kayung yang mayoritas muslim ternyata melakukan adat-istiadat yang di kalangan muslim pada umumnya ditolak.

    Adat Terhadap Anak Perempuan            
    Orang Melayu Kayung memiliki tradisi unik sehubungan dengan anak perempuan. Seperti umumnya anak laki-laki yang disunat, maka demikian pula halnya dengan anak perempuan. Tentu saja cara sunat anak perempuan berbeda dengan laki-laki. Sunat ini bertujuan untuk menyucikan anak perempuan dari beberapa “kekotoran” yang dibawa dari lahir. Sunat perempuan juga ditujukan agar dijauhkan dari penyakit.      

    Sunat untuk anak perempuan adalah tradisi leluhur yang dilakukan ketika anak masih berumur kurang lebih 7-10 bulan. Sunat perempuan dilakukan oleh dukun atau bidan yang sudah ahli dan tidak boleh diwakilkan kepada orang lain.               

    Selain sunat, ketika anak perempuan menginjak umur 8-9 tahun, diadakan ritual mandi susu. Ritual ini lazimnya digelar bersamaan dengan mandi pengantin saudara perempuan sang anak, yaitu waktu pengantin melaksanakan ritual mandi tiga malam. Sang anak akan didandani seperti halnya pengantin. Adat ini merupakan inisiasi saat sang anak menginjak dewasa (masa peralihan). Ritual ini juga digelar saat seorang anak perempuan hamil tujuh bulan.
                   
    Satu lagi adat terhadap anak perempuan Melayu Kayung adalah belamin. Belamin atau lamin adalah ritual untuk anak perempuan bangsawan saat datang bulan pertama kali. Selama beberapa waktu, anak ditempatkan di dalam kamar (lamin) tertutup dan tidak boleh terkena sinar matahari. Di dalam lamin, sang anak melakukan bekase, yaitu membedaki dirinya sendiri dengan bedak buatan sendiri. Ritual ini memiliki makna agar anak pintar berhias dan percaya diri, khususnya untuk keluarga dan suaminya kelak.       

    Selama di dalam lamin, sang anak juga diajarkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kewanitaan. Setelah selesai waktunya, diadakan ritual turun lamin, yaitu si anak perempuan dikeluarkan dari lamin, setelah itu ia dianggap sudah siap menuju dewasa dan siap menikah.

    Tetambe dan Kesambat              
    Selain adat terhadap perempuan, orang Melayu Kayung juga memiliki tradisi tetambe dan kesambat. Tetambe merupakan sistem pengobatan tradisional orang Melayu Kayung. Tetambe juga menjadi tradisi yang sakral dan unik dalam kehidupan mereka karena adanya akulturasi budaya yang dinamis antara kebudayaan Melayu dengan Jawa, Islam, dan Cina. Hal itu dapat dilihat dari perpaduan antara cara pengobatan dan mantra-mantra yang digunakan.               

    Orang Melayu Kayung juga mengenal istilah kesambat, yaitu penyakit akibat dirasuki makhluk halus. Kesambat biasanya akan diderita orang ketika berada di hutan. Penyakit ini hanya bisa diobati dengan tetambe dan mantra-mantra dari dukun. Mantra tetambe terbilang unik karena dilantunkan layaknya pantun.

    Berikut adalah salah satu mantra tetambe:         
    tetak kayu di hutan       
    tetak kuparas   
    aku menjampi kesambat orang di hutan             
    mintak nyaman mintak waras  


    Jasa para dukun masih dianggap penting dalam kehidupan orang Melayu Kayung hingga sekarang, meskipun sudah terdapat pelayanan medis yang lebih modern. Tetambe berupa ramuan tradisional dan mantra terkadang lebih dipercaya daripada resep dokter. Apalagi mantra itu menggunakan bahasa Arab atau diambil dari ayat Al quran.             

    Suku dan Kebudayaan Dayak Ketapang

    Suku Dayak di Kalimantan memiliki sistem kepercayaan yang kompleks dan sangat berkembang (Alqadrie, 1987). Kompleksitas sistem kepercayaan tersebut di dasarkan pada tradisi dalam masyarakat Dayak yang mengandung dua prinsip yaitu: (1) unsur kepercayaan nenek moyang (ancestral belief) yang meneknkan pada pemujaan nenek moyang, dan (2) kepercayaan terhadap Tuhan yang satu (the one God) dengan kekuasaan tertinggi dan merupkan suatu prima causa dari kehidupan manusia (Alqadrie, 1990).

    Peneliti Institut Dayakologi, Sujarni Aloy dan kawan-kawannya (Sujarni Aloi, dkk 1997), meneliti ada 50 bahasa Dayak di Ketapang, yaitu:
    1. Bahasa Dayak Kualatn
    2. Bahasa Mali
    3. Bahasa Kancikng
    4. Bahasa Cempede’
    5. Bahasa Semandakng
    6. Bahasa Sajan
    7. Bahasa Banjur
    8. Bahasa Gerai
    9. Bahasa Baya
    10. Bahasa Laur
    11. Bahasa Joka’
    12. Bahasa Domit
    13. Bahasa Pawatn
    14. Bahasa Krio
    15. Bahasa Konyeh
    16. Bahasa Biak
    17. Bahasa Beginci
    18. Bahasa Tumbang Pauh
    19. Bahasa Gerunggang
    20. Bahasa Kayong
    21. Bahasa Majau
    22. Bahasa Pangkalan Suka
    23. Bahasa Kebuai
    24. Bahasa Tola’
    25. Bahasa Marau
    26. Bahasa Batu Tajam
    27. Bahasa Kengkubang
    28. Bahasa Pesaguan Hulu
    29. Bahasa Kendawangan
    30. Bahasa Pesaguan Kanan
    31. Bahasa Kekura’
    32. Bahasa Lemandau
    33. Bahasa Tanjung
    34. Bahasa Benatuq
    35. Bahasa Sumanjawat
    36. Bahasa Tembiruhan
    37. Bahasa Penyarangan
    38. Bahasa Parangkunyit
    39. Bahasa Perigiq
    40. Bahasa Riam
    41. Bahasa Belaban
    42. Bahasa Batu Payung
    43. Bahasa Pelanjau
    44. Bahasa Membuluq
    45. Bahasa Dayak Menggaling
    46. Bahasa Air Upas
    47. Bahasa Sekakai
    48. Bahasa Air Durian
    49. Bahasa Sempadian
    Suku Dayak sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki adat-istiadat dan hukum adat tersendiri. Ketentuan-ketentuan yang merupakan pedoman hidup bagi warganya, ada yang mengandung sanksi, dan ada yang tidak. Yang tidak mengandung mengandung sanksi adalah kebiasaan atau adat istiadat, namun yang melanggar akan dicemooh, karena adat merupakan pencerminan kepribadian dan penjelmaan dari jiwa mereka secara turun temurun. Sedangkan yang mengandung sanksi adalah hukum yang terdiri dari norma-norma kesopanan, kesusilaan, ketertiban sampai pada norma-norma keyakinan atau kepercayaan yang dihubungkan dengan alam gaib dan sang pencipta. Norma-norma itu disebut hukum adat. 

    Sistem kekarabatan pada orang Dayak pada adalah bersifat bilateral atau parental. Anak laki-laki maupun perempuan mendapat perlakuan yang sama, begitu juga dalam pembagian warisan pada dasarnya juga tidak ada perbedaan, artinya tidak selamanya anak-laki mendapat lebih banyak dari anak perempuan, kecuali yang tetap tinggal dan memelihara orang tua hingga meninggal, maka mendapat bagian yang lebih bahkan kadang seluruhnya. Demikian juga tempat tinggal setelah menikah pada orang Dayak lebih bersifat bebas memilih dan tidak terikat. Sistem perkawinan pada dasarnya menganut sistem perkawinan eleotherogami dan tidak mengenal larangan atau keharusan sebagaimana pada sistem endogami atau eksogami, kecuali karena hubungan darah terdekat baik dalam keturunan garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketujuh. 

    Mata pencaharian orang Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan, misalnya berburu, berladang, berkebun mereka pergi ke hutan. Mata pencaharian yang berorientasi pada hutan tersebut telah berlangsung selama berabad-abad, dan ternyata berpengaruh terhadap kultur orang Dayak. Misalnya rumah panjang yang masih asli seluruhnya dibuat dari kayu yang diambil dari hutan, demikian juga halnya dengan sampan-sampan kecil yang dibuat dengan teknologi sederhana yaitu dengan cara mengeruk batang pohon, peralatan kerja seperti kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, perisai dan sumpit semuanya (paling tidak sebagian) bahan-bahannya berasal dari hutan.

    Kesenian seperti seni tari, seni suara, seni ukir, seni lukis orang Dayak merupakan salah satu aspek dari kebudayaan Dayak yang memiliki bentuk dan ciri-ciri khas pada tiap-tiap sub suku Dayak. Walaupun demikian, pada hampir semua sub suku Dayak memiliki ciri-ciri dasar yang sama atau mirip, hal ini menandakan bahwa terdapat hubungan kekarabatan pada masa lampau.

    Tapi sekarang budaya seperti itu mulai terkikis oleh pesatnya perkembangan zaman...
    Bahkan adat istiadat mulai dilupakan...         

    Dan sekarang untuk di wilayang Ketapang sendiri sudah bisa di sebut dengan budaya multikultural, maksudnya di Ketapang bukan hanya orang Melayu dan Dayak yang tinggal dan menetap di ketapang tetapi juga banyak suku-suku lain yang tinggal di sana diantaranya ada Madura, Jawa, Batak, Bugis, dan bnyak lagi. Bule juga ada hahahaha.


    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Suku dan Kebudayaan Asli Kota Ketapang Kal-Bar Rating: 5 Reviewed By: PENGADILAN AGAMA KETAPANG
    Scroll to Top